Gula

Gula


Gula adalah suatu karbohidrat sederhana yang menjadi sumber energi dan komoditas perdagangan utama. Gula paling banyak diperdagangkan dalam bentuk kristal sukrosa padat. Gula digunakan untuk mengubah rasa menjadi manis dan dengan keadaan makanan atau minuman. Gula sederhana, seperti glukosa (yang diproduksi dari sukrosa dengan enzim atau hidrolisis asam), menyimpan energi yang akan digunakan oleh sel.

Gula sebagai komoditas

Gula sebagai sukrosa diperoleh dari nira, tebu, bit gula, atau aren. Meskipun demikian, terdapat sumber-sumber gula minor lainnya, seperti kelapa. Sumber-sumber pemanis lain, seperti umbi dahlia, anggur, atau bulir jagung, juga menghasilkan semacam pemanis namun bukan tersusun dari sukrosa sebagai komponen utama. Proses untuk menghasilkan gula mencakup tahap ekstraksi (pemerasan) diikuti dengan pemurnian melalui distilasi (penyulingan).

Negara-negara penghasil gula terbesar adalah negara-negara dengan iklim hangat seperti Australia, Brazil, dan Thailand. Hindia Belanda (sekarang Indonesia) pernah menjadi produsen gula utama dunia pada tahun 1930-an, tetapi kemudian tersaingi oleh industri gula baru yang lebih efisien. Pada tahun 2001/2002 gula yang diproduksi di negara berkembang dua kali lipat lebih banyak dibandingkan gula yang diproduksi negara maju. Penghasil gula terbesar adalah Amerika Latin, negara-negara Karibia, dan negara-negara Asia Timur.

Lain halnya dengan gula bit yang diproduksi di tempat dengan iklim yang lebih sejuk seperti Eropa Barat Laut dan Timur, Jepang Utara, dan beberapa daerah di Amerika Serikat, musim penumbuhan bit berakhir pada pemanenannya di bulan September. Pemanenan dan pemrosesan berlanjut sampai Maret di beberapa kasus. Lamanya pemanen dan pemrosesan dipengaruhi dari ketersediaan tumbuhan dan cuaca. Bit yang telah dipanen dapat disimpan untuk diproses lebih lanjut, namun bit yang membeku tidak bisa lagi diproses.

Pengimpor gula terbesar adalah Uni Eropa (UE). Peraturan pertanian di UE menetapkan kuota maksimum produksi dari setiap anggota sesuai dengan permintaan, penawaran, dan harga. Sebagian dari gula ini adalah gula “kuota” dari industry levies, sisanya adalah gula “kuota c” yang dijual pada harga pasar tanpa subsidi. Subsidi-subsidi tersebut dan pajak impor yang tinggi membuat negara lain susah untuk mengekspor ke negara negara UE, atau bersaing dengannya di pasar dunia. Amerika Serikat menetapkan harga gula tinggi untuk mendukung pembuatnya, hal ini mempunyai efek samping namun, banyak para konsumen beralih ke sirup jagung (pembuat minuman) atau pindah dari negara itu (pembuat permen)

Pasar gula juga diserang oleh harga sirup glukosa yang murah. Sirup tersebut diproduksi dari jagung (maizena), Dengan mengkombinasikannya dengan pemanis buatan pembuat minuman dapat memproduksi barang dengan harga yang sangat murah.

Sejarah industri gula di Indonesia

Sumber gula di Indonesia sejak masa lampau adalah cairan bunga (nira) kelapa atau enau, serta cairan batang tebu. Tebu adalah tumbuhan asli dari Nusantara, terutama di bagian timur.

Ketika orang-orang Belanda mulai membuka koloni di Pulau Jawa, kebun-kebun tebu monokultur mulai dibuka oleh tuan-tuan tanah pada abad ke-17, pertama di sekitar Batavia, lalu berkembang ke arah timur.

Puncak kegemilangan perkebunan tebu dicapai pada tahun-tahun awal 1930-an, dengan 179 pabrik pengolahan dan produksi tiga juta ton gula per tahun. Penurunan harga gula akibat krisis ekonomi merontokkan industri ini dan pada akhir dekade hanya tersisa 35 pabrik dengan produksi 500 ribu ton gula per tahun. Situasi agak pulih menjelang Perang Pasifik, dengan 93 pabrik dan produksi 1,5 juta ton. Seusai Perang Dunia II, tersisa 30 pabrik aktif. Tahun 1950-an menyaksikan aktivitas baru sehingga Indonesia menjadi eksportir netto. Pada tahun 1957 semua pabrik gula dinasionalisasi dan pemerintah sangat regulasi industri ini. Sejak 1967 hingga sekarang Indonesia kembali menjadi importir gula.

Macetnya riset pergulaan, pabrik-pabrik gula di Jawa yang ketinggalan teknologi, tingginya tingkat konsumsi (termasuk untuk industri minuman ringan), serta kurangnya investor untuk pembukaan lahan tebu di luar Jawa menjadi penyebab sulitnya swasembada gula.

Pada tahun 2002 dicanangkan target Swasembada Gula 2007. Untuk mendukungnya dibentuk Dewan Gula Indonesia pada tahun 2003 (berdasarkan Kepres RI no. 63/2003 tentang Dewan Gula Indonesia) Target ini kemudian diundur terus-menerus

Jenis

Gula merah adalah jenis gula yang dibuat dari nira, yaitu cairan yang dikeluarkan dari bunga pohon keluarga palem, seperti kelapa, aren, dan siwalan. Gula merah yang dipasarkan dalam bentuk cetakan batangan silinder, cetakan setengah bola, dan bubuk curah disebut sebagai gula semut

Gula tebu

Gula tebu kebanyakan dipasarkan dalam bentuk gula kristal curah. Pertama-tama bahan mentah dihancurkan dan diperas, sarinya dikumpulkan dan disaring, cairan yang terbentuk kemudian ditambahkan bahan tambahan (biasanya menggunakan kalsium oksida) untuk memisahkan ketidakmurnian, campuran tersebut kemudian dipisahkan lagi dengan belerang dioksida atau kalsium oksida. Campuran yang terbentuk kemudian didihkan, endapan dan sampah yang mengambang kemudian dapat kembali dipisahkan. Setelah cukup murni, cairan didinginkan dan dikristalkan (biasanya sambil diaduk) untuk memproduksi gula yang dapat dituang ke cetakan. Sebuah mesin sentrifugal juga dapat digunakan pada proses pemisahan fasa padat (gula) dan fasa cair (mesquite).

Gula batu adalah gula tebu yang tidak melalui tahap kristalisasi. Gula kotak/blok adalah gula kristal lembut yang dipres dalam bentuk dadu. Gula mentah (raw sugar) adalah gula kristal yang dibuat tanpa melalui proses pemutihan dengan belerang. Warnanya agak kecoklatan karena masih mengandung molase, tetapi sekarang gula batu sudah bersih dalam pembuatannya sehingga gula batu yang berwarna coklat sudah tidak ada lagi.

Gula bit

Setelah dicuci, bit kemudian dipotong-potong dan gulanya kemudian diekstraksi dengan air panas pada sebuah difusi. Pemurnian kemudian ditangani dengan menambahkan larutan kalsium oksida dan karbon dioksida. Setelah penyaringan campuran yang terbentuk lalu didihkan hingga kandungan air yang tersisa hanya tinggal 30% saja.

Gula kemudian diekstraksi dengan kristalisasi terkontrol. Kristal gula pertama-tama dipisahkan dengan mesin sentrifugal. Sentrifugasi dilakukan untuk memisahkan kristal gula dengan molasses. Upaya agar sentrifugasi berlangsung secara optimal adalah dengan pengaturan kecepatan putaran. Kecepatan putaran sangat mempengaruhi kekuatan mesin tersebut dalam melepaskan lapisan molasses dari kristal gula. Kecepatan putaran sentrifugasi dan cairan yang tersisa digunakan untuk tambahan pada proses kristalisasi selanjutnya. Ampas yang tersisa (di mana sudah tidak bisa lagi diambil gula darinya) digunakan untuk makanan ternak dan dengan itu terbentuklah gula putih yang kemudian disaring ke dalam tingkat kualitas tertentu untuk kemudian dijual.

Jenis  gula dan penjelasannya

  1. Gula aren/Gula Merah

Gula aren, atau gula merah, atau gula kawung adalah pemanis yang dibuat dari nira yang berasal dari tandan bunga jantan pohon enau. Gula aren biasanya juga diasosiasikan dengan segala jenis gula yang dibuat dari nira, yaitu cairan yang dikeluarkan dari bunga pohon dari keluarga palma, seperti kelapa, aren, dan siwalan.

Gula aren versi bubuk sering pula disebut sebagai gula semut atau gula kristal. Dinamakan gula semut karena bentuk gula ini mirip rumah semut yang bersarang di tanah.

Cara pembuatan

Sebagai gula merah

Bunga (mayang) atau (bunga kelapa) yang belum mekar diikat kuat (kadang-kadang dipres dengan dua batang kayu) pada bagian pangkalnya sehingga proses pemekaran bunga menjadi terhambat. Sari makanan yang seharusnya dipakai untuk pemekaran bunga menumpuk menjadi cairan gula. Mayang membengkak. Setelah proses pembengkakan berhenti, batang mayang diiris-iris untuk mengeluarkan cairan gula secara bertahap. Cairan biasanya ditampung dengan timba yang terbuat dari daun pohon palem tersebut. Cairan yang ditampung diambil secara bertahap, biasanya 2–3 kali. Cairan ini kemudian dipanaskan dengan api sampai kental. Setelah benar-benar kental, cairan dituangkan ke mangkuk-mangkuk yang terbuat dari daun palem dan siap dipasarkan.

Gula merah sebagian besar dipakai sebagai bahan baku kecap manis dan juga sering digunakan untuk pembuatan jamu.

Sebagai gula aren

Bunga jantan pohon enau yang dikumpulkan terlebih dahulu dalam sebuah bumbung bambu. Untuk mencegah nira mengalami peragian dan nira yang telah mengalami fermentasi tidak bisa dibuat gula, maka ke dalam bumbung bambu tersebut ditambahkan laru atau kawao yang berfungsi sebagai pengawet alami.

Setelah jumlahnya cukup, nira direbus di atas tungku dalam sebuah wajan besar. Kayu terbaik untuk memasak gula aren berasal dari kayu aren yang sudah tua. Karena kalori ini lebih tinggi dari kayu bakar biasa maka proses memasaknya juga lebih cepat. Sekalipun demikian, api tidak juga boleh terlalu besar sampai masuk ke dalam wajan dan menjilat serta membakar gula yang sedang dimasak. Kalau ini terjadi gula akan hangus, rasanya akan pahit dan warnanya menjadi hitam.

Gula aren sudah terbentuk bila nira menjadi pekat, berat ketika diaduk dan kalau diciduk dari wajan dan tuangkan kembali adukan akan putus-putus. Dan kalau tuangkan ke dalam air dingin, cairan pekat ini akan membentuk benang yang tidak putus-putus. Kalau sudah begitu, adonan diangkat dari tungku dan dicetak.

Sebagai gula semut

Bahan dasar untuk membuat gula semut adalah nira dari pohon kelapa atau pohon aren (enau). Karena kedua pohon ini masuk jenis tumbuhan palmae maka dalam bahasa asing, secara umum gula semut hanya disebut sebagai Palm Sugar atau Palm Zuiker

Proses

Pengolahan gula semut dapat dilakukan dari nira aren atau dari gula merah cetak. Prosesnya adalah sebagai berikut:

Pengendapan kapur

Kapur yang dipakai sebagai pengawet saat penampungan nira harus diendapkan, sedapat mungkin seluruh kapur diendapkan karena makin tinggi konsentrasi kapur tersisa, semakin pahit rasa gula yang dihasilkan, berarti mutu makin rendah. Tujuan dari pengendapan kapur adalah untuk menghilangkan zat-zat yang mengganggu atau mengurangi kualitas produk akhir, seperti mengurangi kadar air, menghilangkan senyawa-senyawa yang dapat menghasilkan rasa pahit, serta memisahkan partikel-partikel padat yang tidak diinginkan.

Penyaringan dan pembersihan nira

Setelah semua kapur diendapkan nira yang diperoleh disaring untuk menghilangkan benda-benda asing yang tidak dikehendaki seperti dedaunan, ranting-ranting, dan serangga

Pemasakan

Untuk mendapatkan gula semut yang bermutu baik, nira yang diperoleh harus segera dimasak. Selama pemanasan biasanya akan timbul buih yang mengandung kotoran-kotoran halus. Buih dan kotoran-kotoran ini perlu dibersihkan, sebab akan memengaruhi mutu gula. Buih dihilangkan dengan penyaringan dengan tapisan yang lubang saringannya halus. Pembentukan dan luapan buih dapat dicegah secara fisik dengan pengadukan atau pengaturan suhu. Buih terbentuk karena panas yang berlebihan. Penggunaan alat vakum mencegah terjadinya kehilangan karena buih. Pengadukan mencegah terpusatnya panas suatu bagian atau meratakan panas.

Larutan terus diaduk agar masaknya merata dan dijaga agar bagian bawahnya tidak gosong. Lama kelamaan gelembung-gelembung yang terjadi makin jarang dan ini menunjukkan larutan sudah mulai tua. Pemasakan dihentikan bila nira yang kental itu sudah meletup-letup, atau bila diteteskan berputar-putar di dalam air membentuk benang-benang gula yang terasa keras. Wajan kemudian diturunkan dari tungku, dan nira yang kental tersebut tetap terus diaduk sambil sedikit demi sedikit diambil dengan pengaduk untuk dioles-oleskan atau digosok-gosokkan pada pinggiran wajan.

Proses pengkristalan

Proses tambahan yang penting pada pengolahan gula semut adalah pengkristalan dan pembentukan serbuk. Setelah nira kental, pemanasan dihentikan. Nira kental diaduk perlahan-lahan dengan arah yang tetap (searah). Pada saat pengadukan dilakukan makin lama makin cepat untuk meratakan perkembangan pembentukan kristal dan mencegah terjadinya gumpalan-gumpalan serbuk. Pengadukan mempengaruhi tingkat kehalusan dan keseragaman bentuk serbuk.

Pengayakan

Setelah proses kristalisasi dan pembentukan serbuk selesai, gula semut tersebut diayak untuk memperoleh ukuran yang seragam. Gula semut yang tidak lolos ayakan dihaluskan dan diayak lagi. Serbuk-serbuk tersebut dikemas dalam bahan-bahan pengemas yang kedap air seperti misalnya plastik polipropilena (PP)

 

  1. Gula Tebu

Tebu (Saccharum officinarum Linn) (bahasa Inggris: sugar cane) adalah tanaman yang ditanam untuk bahan baku gula dan vetsin. Tanaman ini hanya dapat tumbuh di daerah beriklim tropis. Tanaman ini termasuk jenis rumput-rumputan. Umur tanaman sejak ditanam sampai bisa dipanen mencapai kurang lebih 1 tahun. Di Indonesia tebu banyak dibudidayakan di pulau Jawa dan Sumatra. Karakteristik dari tanaman tebu di antara lain adalah terdapatnya bulu-bulu beserta duri di sekitar bagian pelepah dan helai daun. Keberadaan bulu-bulu dan duri ini beragam, tergantung dari varietas tebu. Tinggi dari tanaman tebu bervariasi, beberapa faktor yang menyebabkan variasi pada tinggi tanaman tebu adalah daya dukung lingkungan dan varietas; namun secara umum tanaman tebu memiliki tinggi mulai dari 2,5 hingga 4 meter, dengan diameter batang 2 – 4 cm. Tebu merupakan tanaman monokotil dan batangnya dapat menghasilkan anakan dari pangkal batang berupa tunas yang kemudian akan membentuk rumpun

Tanaman tebu dapat tumbuh dan berkembang dengan baik pada daerah dengan iklim subtropika. Tanaman tebu merupakan salah satu tanaman yang pertumbuhannya sangat tergantung pada kondisi iklim, yang berarti bahwa jika iklim tempat tanaman ini buruk, maka kualitas dari tanaman akan terpengaruh dan kemungkinan dapat menurun. Secara umum persyaratan kondisi lingkungan yang dapat menunjang pertumbuhan tebu yang maksimal adalah ketinggian sekitar 0 – 900 mdpl, curah hujan rata-rata 2000 mm/tahun, rentang suhu udara 21 – 32o C, dan pH tanah 5 – 6.

Untuk pembuatan gula, batang tebu yang sudah dipanen diperas dengan mesin pemeras (mesin press) di pabrik gula. Sesudah itu, nira atau air perasan tebu tersebut disaring, dimasak, dan diputihkan sehingga menjadi gula pasir yang kita kenal. Dari proses pembuatan tebu tersebut akan dihasilkan gula 5%, ampas tebu 90% dan sisanya berupa tetes (molasse) dan air.

Daun tebu yang kering (dalam bahasa Jawa, dadhok) adalah biomassa yang mempunyai nilai kalori cukup tinggi. Ibu-ibu di pedesaan sering memakai dadok itu sebagai bahan bakar untuk memasak; selain menghemat minyak tanah yang makin mahal, bahan bakar ini juga cepat panas.

Dalam konversi energi pabrik gula, daun tebu dan juga ampas batang tebu digunakan untuk bahan bakar boiler, yang uapnya digunakan untuk proses produksi dan pembangkit listrik.

Di beberapa daerah air perasan tebu sering dijadikan minuman segar pelepas lelah, air perasan tebu cukup baik bagi kesehatan tubuh karena dapat menambah glukosa. salah satu tempat yang menjual es tebu yatu di seputaran Jember


Produksi Tebu di Indonesia

Di Indonesia sendiri, tanaman tebu diproduksi utamanya pada pulau Jawa dan Sumatera. Pada tahun 2016, menurut Direktorat Jenderal Perkebunan tercatat luas areal perkebunan tebu adalah 445.520 hektar dengan nilai produksi 2,222 juta ton. Untuk panen tebu, secara umum luas panen tebu terus meningkat sejak 1980, dengan luas 316.063 ha, kemudian meningkat sebesar 50,69% menjadi 427.123 pada tahun 2013. Peningkatan luas panen tanaman tebu ini disebabkan oleh meningkatnya pula luas panen tebu di Perkebunan Rakyat, yang merupakan mayoritas pengusaha sebagian besar perkebunan tebu di Indonesia. Seiring dengan peningkatan luas panen tebu, produksi tebu dalam bentuk gula hablur juga terus mengalami peningkatan sejak tahun 1980. Namun, teramati terjadinya penurunan produksi pada tahun 1998 dikarenakan Indonesia tengah mengalami krisis ekonomi pada waktu tersebut. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, produksi tebu dalam bentuk gula hablur pada tahun 1998 hanya mencapai 1,48 juta ton, sementara pada tahun 1997 dapat menembus angka 2,19 juta ton. Kondisi ini terus berlanjut hingga tahun 2004, saat produksi tebu kembali mencapai angka 2 juta ton kembali setelah mengalami keterpurukan pada tahun 1998. Hingga 2016, Ditjen Perkebunan memperkirakan produktivitas tanaman tebu di Indonesia telah mencapai 2,71 ton atau meningkat sekitar 116% dari tahun 1998

Standarisasi Produk Gula

Produk olahan utama dari tebu yaitu gula telah distandarisasi oleh pemerintah Indonesia, tepatnya oleh Direktorat Standardisasi dan Pengendalian Mutu Kementerian Perdagangan Indonesia. Gula Kristal putih (GKP) termasuk produk yang diberlakukan wajib SNI berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 68/Permentan/OT.140/6/2013. SNI GKP adalah SNI 3140.3:2010 dan Amandemen 1.2011 Gula Kristal Putih.

Pendekatan Metabolomik untuk Meningkatan Produksi Tebu Indonesia

Salah satu kajian metabolomik yang telah dilakukan mengenai tebu adalah kajian relasi profil metabolit pada bagian pertumbuhan tebu, yaitu batang dan tunas tebu, terhadap kemampuan pertunasan tebu. Bagian tunas aksila pada tebu umumnya berada pada kondisi dorman; walaupun begitu, ketika segmen dari batang yang memuat bagian dari node dan internode dengan embrio akar dan setidaknya sebuah tunas viabel diisolasi dari badan tanaman dan ditanam pada tanah, pertumbuhan tunas dapat teramati dan tanaman tebu baru dapat dihasilkan. Tebu juga diketahui dapat mengakumulasi sukrosa dalam jumlah yang besar pada batangnya. Sukrosa ini kemudian dapat digunakan sebagai substrat oleh tebu untuk menunjang pertumbuhannya melalui integrasi pada suatu proses metabolisme tertentu yang bersifat dinamis dan dapat dikarakterisasi dengan siklus sintesis dan degradasi yang dinamis pula, mencakup keterlibatan berbagai enzim dan isoformnya. Sukrosa yang terdapat dalam batang tebu dapat diamati sebagai gradien, dengan kandungan sukrosa pada intermoda yang masih muda lebih rendah dibandingkan dengan intermoda yang sudah tua. Oleh karena itu, karbon yang disimpan oleh tanaman tebu dalam bentuk sukrosa ini diasumsikan memiliki peranan dalam pertumbuhan tunas dan pembentukan tanaman tebu baru. Anggapan ini didasarkan pada informasi bahwa sukrosa merupakan salah satu metabolit yang terlibat dalam pertumbuhan di beberapa jenis tanaman lainnya

Komposisi metabolit adalah salah satu tool yang powerfull untuk menjembatani interaksi gen dan fenotip yang teramati pada suatu organisme, yang pada dasarnya merupakan cerminan dari komposisi kimia yang dikandung sel. Kajian yang telah dilakukan terhadap tanaman tebu terkait dengan hal ini adalah pengeksplorasian lebih lanjut jaringan metabolit (metabolic networks) dari bagian batang dan tunas tebu, jaringan yang terlibat dalam perbanyakan vegetatif spesies ini. Dikarenakan pertumbuhan tunas merupakan kunci untuk menentukan keberhasilan pertumbuhan tanaman tebu di area tumbuhnya, maka potensi pertumbuhan tunas dari tanaman tebu ini dievaluasi. Profiling metabolit primer berhasil memberikan gambaran yang lebih elaboratif pada keberagaman fitur metabolit tebu bahkan pada latar belakang genetik yang saling berdekatan. Metabolit yang terkorelasi dalam dan di antara jaringan ternyata lebih sensitif terhadap metabolit kunci (sukrosa, putrescine, glutamat, serin, dan myo-inositol) dan berpengaruh terhadap kemampuan pertumbuhan tunas. Selain itu, metabolit juga didapatkan bisa diaplikasikan sebagai indikator untuk penentuan latar belakang genetis

Salah satu permasalahan yang masih dialami oleh petani tebu dan produksi tebu di Indonesia secara keseluruhan adalah rendahnya nilai rendemen tanaman tebu Indonesia. Rendemen tebu sendiri dapat didefinisikan sebagai kadar kandungan gula di dalam batang tebu yang dinyatakan dalam persen; bila rendemen tebu dinyatakan memiliki nilai 10%, maka berarti bahwa dari 100 kg tebu yang digiling saat produksi gula, hanya dapat diperoleh gula sebanyak 10 kg. Menurut Center for Indonesian Policy Studies, nilai rendemen tebu sangat diperlukan untuk menambah daya saing gula produksi petani tebu Indonesia. Untuk saat ini, rendemen tebu Indonesia hanya mencapai nilai 7,50%. Angka ini terbilang rendah jika dibandingkan dengan nilai rendemen tebu Filipina yaitu sebesar 9,20% dan rendemen tebu Thailand, yaitu sebesar 10,70%. Jika hal ini disosialisasikan lebih lanjut, maka untuk menghasilkan gula dengan jumlah yang sama, misalnya 1 juta ton, maka Filipina harus memanen tebu sejumlah 10,8 ton, sementara Thailand sejumlah 9,3 ton, dan Indonesia sejumlah 13,3 ton. Hal ini tentu merugikan bagi para petani tebu Indonesia, selain itu karena hal ini pasokan gula di Indonesia masih ada yang berasal dari impor gula putih murni.

Oleh karena itu, untuk kajian metabolomik yang berpotensi untuk dilakukan pada komoditas tebu adalah kajian metabolomik yang dapat meningkatan nilai rendemen tanaman tebu di Indonesia. Beberapa faktor terkait dengan rendahnya rendemen tebu memang tidak secara langsung berkaitan dengan kandungan gula pada batang tebu, diantaranya merupakan sistem tanam yang diterapkan oleh petani. Namun, aplikasi metabolomik dapat berperan dalam mengoptimalisasi kandungan-kandungan metabolit batang tebu sehingga produktivitasnya sebagai bahan baku dalam produksi gula dapat lebih ditingkatkan

Bit gula

Bit gula adalah sebuah tumbuhan yang akarnya mengandung kadar sukrosa yang tinggi dan ditumbuhkan secara komersial untuk produksi gula yang disebut gula bit. Tumbuhan tersebut dikenal sebagai kelompok tumbuhan Altissima dari bit (Beta vulgaris). Bersama dengan tumbuhan bit lainnya, seperti bit merah dan bit daun, tumbuhan tersebut masuk dalam subspesies Beta vulgaris subsp. vulgaris. Kerabat liar terdekatnya adalah bit laut (Beta vulgaris subsp. maritima)

 

5 Fakta Sugar Beet, Alternatif Bahan Baku

Sugar beet atau bit gula adalah komoditas hortikultura yang banyak dibudidayakan di negara-negara subtropis, mulai dari Amerika Serikat hingga negara-negara di Eropa. 

Tanaman ini mempunyai struktur yang mirip seperti lobak, yakni terdiri dari tajuk dan umbi yang berada di dalam tanah. Hal yang menarik dari tanaman ini terletak pada umbinya yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan gula.

1. Memiliki kandungan sukrosa yang tinggi

Umbi bit gula memiliki kadar sukrosa yang tinggi sehingga banyak digunakan sebagai bahan baku pembuatan gula terutama di negara-negara Eropa. Dilansir Britannica, kadar sukrosa dalam bit gula mencapai 8-22%. Gak heran tanaman ini menjadi penghasil gula kedua terbesar setelah tebu.

Pemanfaatan sugar beet sebagai gula ini pertama kali dilakukan pada tahun 1747 di Jerman oleh ahli kimia bernama Andreas Marggraf. Selang beberapa puluh tahun kemudian, tepatnya pada 1802 muncul pabrik gula sugar beet pertama di Silesia

Meskipun sempat mengalami kolaps setelah jatuhnya Napoleon Bonaparte, produksi gula bit kembali mengalami perkembangan yang pesat pada tahun 1880. Hingga kini, bit gula menjadi sumber gula utama di negara-negara Eropa.

2. Satu keluarga dengan bayam

Dilihat dari sistem taksonominya, tanaman bit gula berada pada satu famili yang sama dengan bayam yakni Chenopodiaceae. Famili Chenopodiaceae sendiri merupakan famili gandum-ganduman. Keluarga ini terdiri dari sekitar 150 genus dan 2200 spesies yang tersebar dari di daerah tropis dan subtropis. 

Ciri khas famili Chenopodiaceae yakni tanaman berbunga, termasuk herba dan semak-semak dengan bunga kecil, buah berbentuk kapsul atau acehnese dan daun berbentuk bulat telur atau segitiga dengan tepi bergerigi. Beberapa tanaman yang termasuk ke dalam famili ini yaitu bayam, quinoa, dan jengger ayam.

3. Karakteristik bit gula

Secara umum, morfologi bit merah terdiri dari dua bagian yaitu tajuk dan umbi. Bagian tajuk berupa sekumpulan daun yang berbentuk roset dan cluster bunga. Melansir publikasi Handbook of Energy Crops, Umbi bit gula berbentuk kerucut, berdaging dan berwarna putih. Tanaman bit gula memiliki sistem akar tunggang dengan panjang dapat mencapai lebih dari 1,5 meter.

Akar bit gula cenderung berserat yang terdiri dari banyak akar sekunder. Warna akar bervariasi mulai dari putih, kuning, oranye, hingga merah. Bunga tanaman bit merah merupakan bunga sempurna yang terdiri dari 5 putik, 5 benang sari, serta kelopak dan mahkota. Bunga biasanya akan muncul pada tahun kedua.

4. Syarat tumbuh bit gula

 bit gula dapat tumbuh optimal pada tanah dengan suhu sekitar 12 derajat celcius. Sedangkan suhu lingkungan yang disarankan yakni antara 18-27 derajat celcius.

Tanaman bit gula dapat dibudidayakan pada berbagai jenis tanah mulai dari lempung berpasir hingga tanah liat. Tanah sebaiknya memiliki kadar bahan organik yang tinggi, kedalaman tanah yang cukup serta tingkat keasaman antara 6,5-6,8. Selama masa pertumbuhan, tanaman ini memerlukan suplai air secara teratur.

  1. Budidaya bit gula

Bit gula biasanya dibudidayakan saat musim panas di negara-negara subtropis. Namun belakangan ada juga yang menumbuhkan bit gula pada musim dingin, utamanya di negara-negara bersuhu hangat seperti bagian selatan Amerika, Afrika, Timur Tengah, dan bagian selatan Eropa.

Perbanyakan bit gula dilakukan menggunakan benih. Pada skala besar, benih di tanaman menggunakan sistem baris pada kedalaman tanah 2-4 cm dan jarak 6-8 cm. Jarak antar baris berkisar antara 50-56 cm. Umumnya, benih akan berkecambah dalam jangka waktu 10 hari.

Pemupukan tanaman bit gula dilakukan pada awal penanaman dan periode masa tumbuh. Pupuk yang digunakan berupa nitrogen, kalium, fosfat, dan magnesium. Pemanenan bit gula biasanya dilakukan setelah 170-200 hari masa tanaman pada akhir September atau awal Oktober. Jika dibudidayakan dengan baik, umbi bit gula dapat tumbuh mencapai 1-2 kg.

Bit gula punya peranan penting dalam industri gula. Keberadaan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadikan potensi tanaman ini dapat diketahui. Kedepannya diharapkan tanaman ini dapat terus dikembangkan dan dimanfaatkan secara maksimal.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *