BAHAN POKOK MAKANAN WAJIB INDONESIA PADI

BAHAN POKOK MAKANAN WAJIB INDONESIA PADI


Padi (bahasa Latin: Oryza sativa) merupakan salah satu tanaman budidaya terpenting dalam peradaban. Meskipun terutama mengacu pada jenis tanaman budidaya, padi juga digunakan untuk mengacu pada beberapa jenis dari marga (genus) yang sama, yang biasa disebut sebagai padi liar. Padi diduga berasal dari India atau Indocina dan masuk ke Indonesia dibawa oleh nenek moyang yang migrasi dari daratan Asia sekitar 1500 SM

 

Etimologi

Kata “padi” berasal daripada akar Proto-Austronesia *pajay yang sama maksudnya. Kata-kata ini kognat dengan kata dalam bahasa Amis panay; bahasa Tagalog paláy; bahasa Kadazan pakai; bahasa Jawa pari; dan bahasa Chamorro faʻi, dan lain-lain.

 

Ciri-ciri

Padi termasuk dalam suku padi-padian atau Poaceae. Terna semusim, berakar serabut, batang sangat pendek, struktur serupa batang terbentuk dari rangkaian pelepah daun yang saling menopang daun sempurna dengan pelepah tegak, daun berbentuk lanset,warna hijau muda hingga hijau tua, berurat daun sejajar, tertutupi oleh rambut yang pendek dan jarang, bagian bunga tersusun majemuk, tipe malai bercabang, satuan bunga disebut floret yang terletak pada satu spikelet yang duduk pada panikula, tipe buah bulir atau kariopsis yang tidak dapat dibedakan mana buah dan bijinya, bentuknya hampir bulat hingga lonjong, ukuran 3 mm hingga 15 mm, tertutup oleh palea dan lemma yang dalam bahasa sehari-hari disebut sekam, struktur dominan padi yang biasa dikonsumsi yaitu jenis enduspermium.

 

Reproduksi

Setiap bunga padi memiliki enam kepala sari (anther) dan kepala putik (stigma) bercabang dua berbentuk sikat botol. Kedua organ seksual ini umumnya siap bereproduksi dalam waktu yang bersamaan. Kepala sari kadang-kadang keluar dari palea dan lemma jika telah masak. Dari segi reproduksi, padi merupakan tanaman berpenyerbukan sendiri, karena 95% atau lebih serbuk sari membuahi sel telur tanaman yang sama. Setelah pembuahan terjadi, zigot dan inti polar yang telah dibuahi segera membelah diri. Zigot berkembang membentuk embrio dan inti polar menjadi endosperm. Pada akhir perkembangan, sebagian besar bulir padi mengandung pati di bagian endosperm. Bagi tanaman muda,pati dimanfaatkan sebagai sumber gizi.

 

Genetika dan pemuliaan

Satu set genom padi terdiri atas 12 kromosom. Karena padi adalah tanaman diploid, maka setiap sel padi memiliki 12 pasang kromosom (kecuali sel seksual).

Padi merupakan organisme model dalam kajian genetika tumbuhan karena dua alasan: kepentingannya bagi umat manusia dan ukuran kromosom yang relatif kecil, yaitu 1.6~2.3 × 108 pasangan basa (base pairs, bp) Sebagai tanaman model, genom padi telah disekuensing, seperti juga genom manusia.

Perbaikan genetik padi telah berlangsung sejak manusia membudidayakan padi. Dari hasil tindakan ini orang mengenal berbagai macam ras lokal, seperti ‘Rajalele’ dari Klaten atau ‘Pandanwangi’ dari Cianjur di Indonesia atau ‘Basmati’ dari India utara. Orang juga berhasil mengembangkan padi lahan kering (padi gogo) yang tidak memerlukan penggenangan atau padi rawa yang mampu beradaptasi terhadap kedalaman air rawa yang berubah-ubah. Di negara lain dikembangkan pula berbagai tipe padi.

Pemuliaan padi secara sistematis baru dilakukan sejak didirikannya IRRI di Filipina sebagai bagian dari gerakan modernisasi pertanian dunia yang dijuluki sebagai Revolusi Hijau. Sejak saat itu muncullah berbagai kultivar padi dengan daya hasil tinggi untuk memenuhi kebutuhan pangan dunia. Dua kultivar padi modern pertama adalah ‘IR5’ dan ‘IR8’ (di Indonesia diadaptasi menjadi ‘PB5’ dan ‘PB8’). Walaupun hasilnya tinggi tetapi banyak petani menolak karena rasanya tidak enak (pera). Selain itu, terjadi wabah hama wereng coklat pada tahun 1970-an.

Ribuan persilangan kemudian dirancang untuk menghasilkan kultivar dengan potensi hasil tinggi dan tahan terhadap berbagai hama dan penyakit padi. Pada tahun 1984 pemerintah Indonesia pernah meraih penghargaan dari PBB (FAO) karena berhasil meningkatkan produksi padi hingga dalam waktu 20 tahun dapat berubah dari pengimpor padi terbesar dunia menjadi negara swasembada beras. Prestasi ini tidak dapat dilanjutkan dan baru kembali pulih sejak tahun 2007.

Hadirnya bioteknologi dan rekayasa genetika pada tahun 1980-an memungkinkan perbaikan kualitas nasi. Sejumlah tim peneliti di Swiss mengembangkan padi transgenik yang mampu memproduksi toksin bagi hama pemakan bulir padi dengan harapan menurunkan penggunaan pestisida. IRRI, bekerja sama dengan beberapa lembaga lain, merakit “Padi emas” (Golden Rice) yang dapat menghasilkan provitamin A pada berasnya, yang diarahkan bagi pengentasan defisiensi vitamin A di berbagai negara berkembang. Suatu tim peneliti dari Jepang juga mengembangkan padi yang menghasilkan toksin bagi bakteri kolera. Diharapkan beras yang dihasilkan padi ini dapat menjadi alternatif imunisasi kolera, terutama di negara-negara berkembang.

Sejak 1970-an telah diusahakan pengembangan padi hibrida, yang memiliki potensi hasil lebih tinggi. Karena biaya pembuatannya tinggi, kultivar jenis ini dijual dengan harga lebih mahal daripada kultivar padi yang dirakit dengan metode lain.

Selain perbaikan potensi hasil, sasaran pemuliaan padi mencakup pula tanaman yang lebih tahan terhadap berbagai organisme pengganggu tanaman (OPT) dan tekanan (stres) abiotik (seperti kekeringan, salinitas, dan tanah masam). Pemuliaan yang diarahkan pada peningkatan kualitas nasi juga dilakukan, misalnya dengan perancangan kultivar mengandung karoten (provitamin A).

 

Keanekaragaman genetik

Hingga sekarang ada dua spesies padi yang dibudidayakan manusia secara massal: Oryza sativa yang berasal dari Asia dan O. glaberrima yang berasal dari Afrika Barat.

Pada awal mulanya Oryza sativa dianggap terdiri dari dua subspesies, indica dan japonica (sinonim sinica). Padi japonica umumnya berumur panjang, postur tinggi namun mudah rebah, lamanya memiliki “ekor” atau “bulu” (Ing. awn), bijinya cenderung membulat, dan nasinya lengket. Padi indica, sebaiknya, berumur lebih pendek, postur lebih kecil, lamanya tidak berbulu” atau hanya pendek saja, dan bulir cenderung oval sampai lonjong. Walaupun kedua anggota subspesies ini dapat saling membuahi, persentase keberhasilannya tidak tinggi. Contoh terkenal dari hasil persilangan ini adalah kultivar ‘IR8’, yang merupakan hasil seleksi dari persilangan japonica (cultivar ‘Dee Geowoogen’ dari Formosa) dengan indica (kultivar ‘Peta’ dari Indonesia). Selain kedua varietas ini, dikenal varietas minor javanica yang memiliki sifat antara dari kedua tipe utama di atas. Varietas javanica hanya ditemukan di Pulau Jawa.

Kajian dengan bantuan teknik biologi molekuler sekarang menunjukkan bahwa selain dua subspesies O. sativa yang utama, indica dan japonica, terdapat pula subspesies minor tetapi bersifat adaptif tempatan, seperti aus (padi gogo dari Bangladesh), royada (padi pasang-surut/rawa dari Bangladesh), ashina (padi pasang-surut dari India), dan aromatic (padi wangi dari Asia Selatan dan Iran, termasuk padi basmati yang terkenal). Pengelompokan ini dilakukan menggunakan penanda RFLP dibantu dengan isozim. Kajian menggunakan penanda genetik SSR terhadap genom inti sel dan dua lokus pada genom kloroplas menunjukkan bahwa perbedaan indica dan japonica adalah mantap, tetapi japonica ternyata terbagi menjadi tiga kelompok khas: temperate japonica (“japonica daerah sejuk” dari Cina, Korea, dan Jepang), tropical japonica (“japonica daerah tropika” dari Nusantara), dan aromatic. Subspesies aus merupakan kelompok yang terpisah.

Berdasarkan bukti-bukti evolusi molekuler diperkirakan kelompok besar indica dan japonica terpisah sejak ~440.000 tahun yang lalu dari suatu populasi spesies moyang O. rufipogon. Domestikasi padi terjadi di titik tempat yang berbeda terhadap dua kelompok yang sudah terpisah ini. Berdasarkan bukti arkeologi padi mulai dibudidayakan (didomestikasi) 10.000 hingga 5.000 tahun sebelum masehi

Keanekaragaman budidaya

Padi gogo

Di beberapa daerah tadah hujan orang mengembangkan padi gogo, suatu tipe padi lahan kering yang relatif toleran tanpa penggenangan seperti di sawah. Di Lombok dikembangkan sistem padi gogo rancah, yang memberikan penggenangan dalam selang waktu tertentu sehingga hasil padi meningkat.Biasanya di daerah yang hanya bisa bercocok tanam padi gogo menggunakan model Tumpang Sari. Sistem Tumpang sari yaitu dalam sekali tanam tidak hanya menanam padi, akan tetapi juga tanaman lain dalam satu lahan. Padi gogo biasanya di tumpang sari dengan jagung atau Ketela Pohon.

 

Padi rawa

Padi rawa atau padi pasang surut tumbuh liar atau dibudidayakan di daerah rawa-rawa. Selain di Kalimantan, padi tipe ini ditemukan di lembah Sungai Gangga. Padi rawa mampu membentuk batang yang panjang sehingga dapat mengikuti perubahan kedalaman air yang ekstrim musiman.

 

Keanekaragaman tipe beras/nasi

 

Padi pera

Padi pera adalah padi dengan kadar amilosa pada pati lebih dari 20% pada berasnya. Butiran nasinya jika ditanak tidak saling melekat. Lawan dari padi pera adalah padi pulen. Sebagian besar orang Indonesia menyukai nasi jenis ini dan berbagai jenis beras yang dijual di pasar Indonesia tergolong padi pulen. Penggolongan ini terutama dilihat dari konsistensi nasinya.

 

Ketan

Ketan (sticky rice), baik yang putih maupun merah/hitam, sudah dikenal sejak dulu. Padi ketan memiliki kadar amilosa di bawah 1% pada pati berasnya. Patinya didominasi oleh amilopektin, sehingga jika ditanak sangat lekat.

 

Padi wangi

Padi wangi atau harum (aromatic rice) dikembangkan orang di beberapa tempat di Asia, yang terkenal adalah ras ‘Cianjur Pandanwangi’ (sekarang telah menjadi kultivar unggul) dan ‘rajalele’. Kedua kultivar ini adalah varietas javanica yang berumur panjang.

Di luar negeri orang mengenal padi biji panjang (long grain), padi biji pendek (short grain), risotto, padi susu umumnya menggunakan metode silsilah. Salah satu tahap terpenting dalam pemuliaan padi adalah dirilisnya kultivar ‘IR5’ dan ‘IR8’, yang merupakan padi pertama yang berumur pendek namun berpotensi hasil tinggi. Ini adalah awal revolusi hijau dalam budidaya padi. Berbagai kultivar padi berikutnya umumnya memiliki ‘darah’ kedua kultivar perintis tadi. tes

Aspek budidaya

Teknik budidaya padi telah dikenal oleh manusia sejak ribuan tahun yang lalu. Sejumlah sistem budidaya diterapkan untuk padi.

  • Budidaya padi sawah (Ing. paddy atau paddy field), diduga dimulai dari daerah lembah Sungai Yangtse di Tiongkok.
  • Budidaya padi lahan kering, dikenal manusia lebih dahulu daripada budidaya padi sawah.
  • Budidaya padi lahan rawa, dilakukan di beberapa tempat di Pulau Kalimantan.
  • Budidaya gogo rancah atau disingkat gora, yang merupakan modifikasi dari budidaya lahan kering. Sistem ini sukses diterapkan di Pulau Lombok, yang hanya memiliki musim hujan singkat.

Setiap sistem budidaya memerlukan kultivar yang adaptif untuk masing-masing sistem. Kelompok kultivar padi yang cocok untuk lahan kering dikenal dengan nama padi gogo.

Secara ringkas, bercocok tanam padi mencakup persemaian, pemindahan atau penanaman, pemeliharaan (termasuk pengairan, penyiangan, perlindungan tanaman, serta pemupukan), dan panen. Aspek lain yang penting namun bukan termasuk dalam rangkaian bercocok tanam padi adalah pemilihan kultivar, pemrosesan biji dan penyimpanan biji.

Hama dan penyakit

Hama-hama penting

  • Penggerek batang padi putih (“sundep”, Scirpophaga innotata)
  • Penggerek batang padi kuning (S. incertulas)
  • Wereng batang punggung putih (Sogatella furcifera)
  • Wereng coklat (Nilaparvata lugens)
  • Wereng hijau (Nephotettix impicticeps)
  • Lembing hijau (Nezara viridula)
  • Walang sangit (Leptocorisa oratorius)
  • Ganjur (Pachydiplosis oryzae)
  • Lalat bibit (Arterigona exigua)
  • Ulat tentara/Ulat grayak (Spodoptera litura dan S. exigua)
  • Tikus sawah (Rattus argentiventer)

Penyakit-penyakit penting

  • blas (Pyricularia oryzae, P. grisea)
  • hawar daun bakteri (“kresek”, Xanthomonas oryzae pv. oryzae)

Pengolahan gabah menjadi nasi

Setelah padi dipanen, bulir padi atau gabah dipisahkan dari jerami padi. Pemisahan dilakukan dengan memukulkan seikat padi sehingga gabah terlepas atau dengan bantuan mesin pemisah gabah.

Gabah yang terlepas lalu dikumpulkan dan dijemur. Pada zaman dulu, gabah tidak dipisahkan lebih dulu dari jerami, dan dijemur bersama dengan merangnya. Penjemuran biasanya memakan waktu tiga sampai tujuh hari, tergantung kecerahan penyinaran matahari. Penggunaan mesin pengering jarang dilakukan. Istilah “Gabah Kering Giling” (GKG) mengacu pada gabah yang telah dikeringkan dan siap untuk digiling. (Lihat pranala luar). Gabah merupakan bentuk penjualan produk padi untuk keperluan ekspor atau perdagangan partai besar.

Gabah yang telah kering disimpan atau langsung ditumbuk/digiling, sehingga beras terpisah dari sekam (kulit gabah). Beras merupakan bentuk olahan yang dijual pada tingkat konsumen. Hasil sampingan yang diperoleh dari pemisahan ini adalah:

  • sekam, yang dapat digunakan sebagai bahan bakar,
  • merang, tangkai padi kering; digunakan sebagai Jerami atau bahan kerajinan,
  • bekatul, yakni serbuk kulit ari beras; digunakan sebagai bahan makanan tambahan yang kaya akan vitamin B, dan
  • dedak, campuran bekatul kasar dengan serpihan sekam yang kecil-kecil; untuk makanan ternak.

Beras dapat dikukus atau ditim agar menjadi nasi yang siap dimakan. Beras atau ketan yang ditim dengan air berlebih akan menjadi bubur. Pengukusan beras dapat juga dilakukan dengan pembungkus, misalnya dengan anyaman daun kelapa muda menjadi ketupat, dengan daun pisang menjadi lontong, atau dengan bumbung bambu yang disebut lemang (biasanya dengan santan). Beras juga dapat diolah menjadi minuman penyegar (beras kencur) atau obat balur untuk mengurangi rasa pegal (param).

Produksi padi dan perdagangan dunia

Negara produsen padi terkemuka adalah Republik Rakyat Tiongkok (28% dari total produksi dunia), India (21%), dan Indonesia (9%). Namun hanya sebagian kecil produksi padi dunia yang diperdagangkan antar negara (hanya 5%-6% dari total produksi dunia). Thailand merupakan pengekspor padi utama (26% dari total padi yang diperdagangkan di dunia) diikuti Vietnam (15%) dan Amerika Serikat (11%). Indonesia merupakan pengimpor padi terbesar dunia (14% dari padi yang diperdagangkan di dunia) diikuti Bangladesh (4%), dan Brasil (3%).Produksi padi Indonesia pada 2006 adalah 54 juta ton, kemudian tahun 2007 adalah 57 juta ton (angka ramalan III), meleset dari target semula yang 60 juta ton akibat terjadinya kekeringan yang disebabkan gejala ENSO.

Sejarah budidaya padi

Sejarah budidaya padi secara keseluruhan masih simpang-siur. Mayoritas kesepakatan ilmiah saat ini, berdasarkan bukti arkeologis dan sejarah perkembangan bahasa, bahwa padi (oryza sativa) pertama kali didomestikasi di lembah Sungai Yangtze (sekarang bagian dari Tiongkok) 13.500 hingga 8.200 tahun lalu. Sejak penanaman pertama, perpindahan penduduk dan perdagangan menyebarkan padi ke seluruh dunia, pertama ke sebagian besar Asia timur, dan kemudian lebih jauh ke berbagai penjuru dunia. Padi varietas oryza glaberrima didomestikasi secara mandiri di Afrika kira-kira 3.500 hingga 3,000 tahun lalu. Padi liar lainnya dibudidayakan di berbagai penjuru dunia, seperti di benua Amerika.

Sejak penyebarannya, padi telah menjadi tanaman pokok mendunia yang penting bagi ketahanan pangan dan budaya pangan di seluruh dunia. Varietas-varietas oryza sativa lainnya telah menghasilkan lebih dari 40.000 kultivar dari berbagai jenis. Perubahan yang lebih baru dalam praktik pertanian dan metode pemuliaan sebagai bagian dari Revolusi Hijau dan transfer teknologi pertanian lainnya telah menyebabkan peningkatan produksi dalam beberapa dekade terakhir, dengan munculnya jenis baru seperti padi emas, yang direkayasa secara genetika untuk mengandung beta-karoten.

 

Sejarah

Asal-usul di Tiongkok

Mayoritas kesepakatan ilmiah saat ini, berdasarkan bukti arkeologis dan linguistik, adalah bahwa padi pertama kali didomestikasi di lembah Sungai Yangtze di Tiongkok. Meskipun alel fungsional tidaklah terpisah-pisah, indikator penting domestikasi dalam biji-bijian, serta lima polimorfisme nukleotida tunggal lainnya, identik dalam varietas indica dan japonica, Vaughan dkk. (2008) menentukan peristiwa domestikasi tunggal untuk O. sativa. Hal ini didukung oleh studi genetik pada tahun 2011 yang menunjukkan bahwa semua bentuk padi Asia, baik indica maupun japonica, muncul dari satu peristiwa domestikasi yang terjadi 13.500 hingga 8.200 tahun lalu di Tiongkok dari padi liar berjenis Oryza rufipogon. Sebuah penelitian genetika penduduk yang lebih baru menunjukkan bahwa padi japonica didomestikasi terlebih dahulu, dan padi indica muncul ketika japonica tiba di India sekitar ~4.500 tahun lalu dan hibridisasi dengan proto-indica yang tidak didomestikasi atau O. nivara liar.

ada dua kemungkinan besar pusat domestikasi padi serta pengembangan teknologi pertanian basah. Yang pertama terjadi di bagian hilir Sungai Yangtze, diyakini sebagai tanah air bangsa pra-Austronesia dan mungkin juga bangsa Kadai,dan terkait dengan kebudayaan arkeologi Kau Huaqiao, Hemudu, Majiabang, Songze, Liangzhu, dan Maqiao. Hal ini ditandai dengan benda-benda kebudayaan pra-Austronesia, termasuk rumah panggung, ukiran batu giok, dan teknologi perahu. Sistem pangan mereka juga dilengkapi dengan adanya domestikasi akorn, purun tikus, kacang rubah, dan babi.

Pusat domestikasi yang kedua terjadi di lembah tengah Sungai Yangtze, diyakini sebagai tanah air penutur bahasa Hmong-Mien dan terkait dengan kebudayaan arkeologi Pengtoushan, Nanmuyuan, Liulinxi, Daxi, Qujialing, dan Shijiahe. Kedua wilayah ini berpenduduk padat dan memiliki kontak perdagangan reguler satu sama lain, serta dengan bangsa penutur Austroasiatik awal di barat, dan Kadai awal di selatan, memfasilitasi penyebaran penanaman padi ke seluruh Tiongkok selatan.

Padi secara bertahap diperkenalkan ke utara ke petani milet kebudayaan Yangshao dan Dawenkou (bangsa Sino-Tibet awal), baik melalui kontak dengan penduduk berkebudayaan Daxi atau Majiabang-Hemudu. Sekitar 4000 hingga 3800 SM, padi-padi itu adalah tanaman sekunder biasa di antara kebudayaan Sino-Tibet paling selatan. Pertanian tersebut tidak menggantikan milet, sebagian besar bukan hanya karena suasana lingkungan yang sangat berbeda di Tiongkok Utara, tetapi dibudidayakan bersama milet di batas selatan wilayah pertanian milet. Sebaliknya, millet juga diperkenalkan ke daerah pertanian padi

Pada akhir Neolitikum (3500 hingga 2500 SM), jumlah penduduk di pusat budi daya padi meningkat pesat, berpusat di sekitar kebudayaan Qujialing-Shijiahe, dan Liangzhu. Ditemukan pula bukti budidaya padi secara terus-menerus di lahan sawah kuno dan serta semakin canggihnya peralatan kebudayaan di kedua wilayah tersebut. Jumlah pemukiman di antara kumpulan kebudayaan Yangtze purba dan ukurannya meningkat, membuat beberapa arkeolog menggolongkan mereka sebagai negara sejati, dengan tatanan sosial-politik yang maju. Namun, tidak diketahui apakah kebudayaan tersebut memiliki kendali secara terpusat atau terdesentralisasi.

Liangzhu dan Shijiahe menurun secara tiba-tiba pada zaman Neolitikum Akhir (2500 hingga 2000 SM). Dengan ukuran Shijiahe yang menyusut, dan Liangzhu menghilang sama sekali. Ini sebagian besar diyakini sebagai hasil dari ekspansi ke selatan dari kebudayaan Sino-Tibet Longshan awal. Benteng seperti tembok (serta parit yang luas di kota Liangzhu) adalah fitur umum di pemukiman selama periode ini, yang menunjukkan konflik yang meluas. Periode ini juga bertepatan dengan perpindahan budaya pertanian padi ke selatan ke daerah Lingnan dan Fujian, serta migrasi masyarakat penutur bahasa Austronesia, Kadai, dan Austroasiatik ke Asia Tenggara Daratan dan Asia Tenggara Maritim. Sebuah penelitian genetika juga menunjukkan bahwa sekitar waktu tersebut, peristiwa pendinginan dunia secara menyeluruh (4.200 tahun lalu) menyebabkan padi japonica tropis berkembang ke selatan, serta evolusi padi japonica beriklim yang dapat tumbuh dan berkembang di lintang utara lebih.

Penelitian genetika menunjukkan bahwa padi varietas indica tiba di Tiongkok dari India antara 2.000 hingga 1.400 tahun yang lalu.

Asia Tenggara

Penyebaran budidaya padi japonica dimulai dengan migrasi kebudayaan Austronesia (Dapenkeng) ke Taiwan sekitar 3500 hingga 2000 SM (5.500 BP hingga 4,000 BP). Situs Nanguanli di Taiwan, kira-kira 2800 SM, telah menghasilkan banyak sisa karbonisasi baik padi dan milet dalam kondisi tergenang air, menunjukkan budidaya padi lahan basah intensif dan budidaya milet lahan kering. Sebuah penelitian berbagai disiplin ilmu menggunakan urutan genetika padi menunjukkan bahwa padi japonica tropis berkembang ke selatan dari Tiongkok setelah peristiwa pendinginan global (4.200 tahun lalu).

Dari sekitar 2000 hingga 1500 SM, ekspansi Austronesia dimulai, dengan pemukim dari Taiwan bergerak ke selatan untuk menjelajah Luzon di Filipina, membawa teknologi budidaya padi bersama mereka. Dari Luzon, bangsa Austronesia dengan cepat menjelajah penjuru Kepulauan Asia Tenggara, bergerak ke selatan dan barat, yaitu Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Sumatra, dan Semenanjung Malaya. Sekitar 500 SM, ada bukti pertanian padi lahan basah (sawah) yang sudah mapan di Jawa dan Bali, terutama di daerah gunung berapi yang sangat subur

Telah berspekulasi bahwa budidaya padi tidak bertahan dalam pelayaran bangsa Austronesia ke Mikronesia karena jarak laut yang sangat berjauhan dan kurangnya curah hujan di daerah tersebut. Para pengembara ini menjadi nenek moyang dari kebudayaan Lapita. Pada saat mereka bermigrasi ke selatan ke Kepulauan Bismarck, mereka telah kehilangan teknologi budidaya padi. Namun, tidak ada catatan arkeologi padi di Polinesia dan Mikronesia sebelum atau selama masa tembikar Lapita yang sesuai dengan hipotesis.

Padi, bersama dengan tanaman pangan Asia Tenggara lainnya, juga kemudian diperkenalkan ke Madagaskar, Komoro, dan pesisir Afrika Timur sekitar milenium pertama Masehi oleh bangsa Austronesia dari Nusantara.

Jauh setelahnya, pelayar Austronesia dari Guam selama Periode Latte (900 M hingga 1700 M). Guam adalah satu-satunya pulau di Oseania di mana padi dapat ditanam pada masa pra-penjajahan bangsa Eropa

Di Asia Tenggara Daratan, padi diduga disebarkan melalui perdagangan sungai antara bangsa penutur Hmong-Mien di lembah sungai Yangtze tengah dan bangsa penutur Tai-Kadai awal di lembah sungai Zhujiang dan Yuan, serta bangsa penutur Austroasiatik awal di lembah sungai Mekong. Bukti penanaman padi di wilayah ini, sedikit lebih lambat dari pemukiman Dapenkeng di Taiwan, sekitar 3000 SM. Migrasi ke selatan dari penutur Austroasiatik dan Kra-Dai memperkenalkannya ke Daratan Asia Tenggara. Bukti paling awal budidaya padi di Daratan Asia Tenggara berasal dari situs arkeologi kebudayaan Ban Chiang di Thailand utara (sekitar 2000 hingga 1500 SM); dan situs kebudayaan An Sơn di Vietnam (sekitar 2000 hingga 1200 SM). Sebuah penelitian genetika menunjukkan bahwa padi telah terdiversifikasi ke Asia Tenggara Maritim antara 2.500 dan 1.500 tahun yang lalu

Kontroversi

Asal usul budidaya padi telah menjadi bahan perdebatan dalam ilmu sejarah tanaman dan antropologi, apakah padi berasal dari India atau Tiongkok. Padi asia (Oryza sativa), adalah salah satu spesies tanaman tertua yang dibudidayakan. Tanaman ini memiliki puluhan ribu varietas dan dua sub-spesies utama, yaitu japonica dan indica. Para arkeolog yang berfokus pada Asia Timur dan Tenggara berpendapat bahwa pertanian padi dimulai di Tiongkok tengah-selatan di sepanjang sungai Yangtze dan menyebar ke Korea dan Jepang melalui selatan dan timur laut. Para arkeolog yang bekerja di India berpendapat bahwa penanaman padi dimulai di lembah sungai Gangga dan sungai Indus, oleh bangsa-bangsa yang tidak berhubungan dengan penduduk lembah sungai Yangzte.

Penelitian pada tahun 2012, melalui peta variasi genetika dalam populasi padi liar modern, menunjukkan bahwa domestikasi beras mungkin terjadi di sekitar wilayah lembah sungai Zhujiang di Tiongkok Selatan, bertentangan dengan bukti arkeologis. Namun, studi ini didasarkan pada peta distribusi modern populasi padi liar yang berpotensi menyesatkan karena perubahan iklim drastis yang terjadi selama periode glasial terakhir, kira-kira 12.000 tahun lalu. Aktivitas manusia selama ribuan tahun juga telah menghilangkan populasi padi liar dari kisaran sebelumnya. Berdasarkan teks-teks Tiongkok Kuno, ada populasi varietas padi liar di sepanjang lembah Yangtze pada tahun 1.000 M yang telah punah.

Sebuah teori yang lebih tua, berdasarkan satu kloroplas dan dua gen nuklir, Londo dkk. (2006) telah mengusulkan bahwa padi O. sativa didomestikasi secara tidak berhubungan sekurang-kurangnya dua kali, yaitu indica di India timur, Myanmar, dan Thailand; dan japonica di Tiongkok dan Vietnam, walaupun mereka mengakui bahwa ada bukti arkeologis dan genetika untuk satu domestikasi beras di dataran rendah Tiongkok selatan.

Pada tahun 2003, para arkeolog Korea menuduh mereka menemukan butiran beras domestik yang dibakar di Soro-ri, Korea, yang berasal dari 13.000 SM. Tuduhan bukti perkiraan tersebut mendahului biji-bijian tertua di Tiongkok, yang berasal dari 10.000 SM, dan berpotensi menantang penjelasan arus utama bahwa padi yang telah didomestikasi berasal dari Tiongkok.Temuan tersebut diterima oleh akademisi dengan skeptisisme yang kuat pada awalnya, tetapi kemudian diterima sebagai sumber sekunder seperti buku ajar berjudul Archaeology: Theories, Methods and Practice

Asal-usul Padi di Nusantara: Antara Legenda Dewi Sri, Ritual Padi, Lacak Genom, dan Jejak Arkeologi

DEWI SRI dalam legenda mati karena Batara Guru gagal mencarikan buah yang dia idam-idamkan. Lalu, petani Jawa pada suatu masa memperlakukan padi laiknya perempuan yang patut disayangi. Apa hubungan di antara legenda Dewi Sri dan perlakuan terhadap padi ini?

Asal-usul dan ritual padi menurut legenda

Dalam legenda, Dewi Sri minta dicarikan buah yang telah dia idam-idamkan itu sebagai syarat sebelum Batara Guru bisa menyalurkan hasrat kepadanya. Batara Guru adalah ayah angkat Sri yang dalam legenda tergoda oleh kemolekan anaknya ini. Seperti muncul dalam banyak legenda lain, syarat yang diajukan Sri adalah cara tersamar sebuah penolakan. Sayangnya, selama buah itu belum juga didapat, Sri tidak lagi punya selera makan. Dia pun mati.

Namun, kematian Sri dalam legenda menghadirkan kesuburan dan kehidupan. Dari kepalanya tumbuh pohon kelapa. Dari pusarnya tumbuh tanaman padi. Dari vaginanya tumbuh pohon aren. Dan dari dadanya mencuat buah gantung berupa pepaya. Dari tangannya tumbuh mangga. Dan dari kakinya tumbuh buah-buahan pendam seperti ubi dan ketela. Inilah simbol kehidupan yang menjadi lakon keberadaan mitologi Dewi Sri hingga kini, terutama di kalangan masyarakat agraris dan petani padi. “Para petani sangat mencintai Dewi Sri. Kecintaan mereka diwujudkan dalam keprihatinan mereka memelihara padi,” tulis Sindunata, dalam tulisan Ketika Dewi Sri Sudah Pergi, yang tayang di harian Kompas edisi 24 Juni 1993. Dari kecintaan itu lahirlah kultur padi. Tak mengherankan, lanjut Sindunata, jika para petani Jawa dulu memperlakukan tanaman padi bagaikan perempuan yang patut disayangi. Para petani sadar bahwa kehidupan pada hakikatnya adalah lemah—secara fisik—seperti perempuan. “Sebagaimana hidup yang lemah itu selalu terancam oleh kekuatan yang hendak memperkosanya, demikian pula padi itu setiap saat dapat dimusnahkan oleh kekuatan alam yang hendak memusnahkannya,” ungkap Sindunata.

Kesadaran akan hidup yang lemah itu makin menyemarakkan budaya padi. Ketika sawah mulai penuh dengan bulir-bulir padi, mereka melakukan upacara isen-iseni. Mereka menaburkan bubur yang terbuat dari ketan dan gula di pinggir sawah sambil mengucapkan japa mantra agar segala hama padi, seperti burung emprit, babi hutan dan walang sangit janganlah datang ke Tanah Jawa merusak tanaman mereka. Menurut akar legenda yang sama, hama-hama itu juga berasal dari telur yang asalnya adalah air mata Dewa Anta. Dewi Sri juga berasal dari telur dewa berwujud naga yang tinggal di Bumi ini. Namun, telur yang lalu menjadi hama tersebut jatuh ke tempat yang salah dan menjelma menjadi makhluk jahat bernama Kala Gumarang. Iri akan kodrat Dewi Sri, Kala Gumarang berusaha membunuhnya, tapi gagal terus.  Sesudah kematian Dewi Sri, Kala Gumarang menjelma menjadi burung emprit dan memusnahkan semua padi sebagai titisan Dewi Sri. Emprit itu kemudian dibunuh Dewa Wisnu. Sayangnya, darah dari satu emprit ini nyiprat kemana-mana, menjadi ribuan emprit, walang dan serangga perusak padi, serta tikus sawah dan babi hutan. Dalam kesederhanaan yang tercampakkan, masyarakat petani itu tahu bahwa “kultur” harus menang melawan “monokultur”. Simbol Dewi Sri harus menang melawan Batara Guru yang salah hasrat.

Ini diwujudkan dalam penghormatan ritual mereka kepada Dewi Kesuburan, Sang Hyang Sri Nyi Pohaci. Salah satunya, pasren. Pasren adalah tempat tinggal Dewi Sri dalam rumah-rumah tradisional Jawa. Petani Jawa percaya bahwa kemakmuran hidup mereka dan keberhasilan panen mereka amat tergantung pada kemurahan Dewi Sri sebagai dewi kesuburan dan dewi padi. Untuk itu mereka menyediakan tempat khusus bagi Sri di rumah mereka, yaitu pasren ini. Pasren berada di senthong (bilik) belakang atau tengah sebuah rumah. Di sana diletakkan amben (dipan), yang diatapi dengan robyong (hiasan kain lipat). Dipan itu dilengkapi dengan kasur, bantal dan guling, yang berlukis kembang-kembangan, serta langse (kelambu). Di depan pasren ditaruh pedaringan untuk menyimpan beras, lalu kendi, jlupak (dian berbahan bakar minyak kelapa), sepasang lampu sewu atau robyong, serta kecohan. Di atas dipan juga diletakkan gambar burung garuda. Petani Jawa percaya, bahwa sewaktu-waktu Dewi Sri berkenan turun ke rumah mereka. Di pasren itulah Dewi Sri akan berdiam dan membaringkan diri. Bila terjadi, mereka berkeyakinan akan mendapat berkah serta kesuburan buat hidup mereka. Namun, sewaktu-waktu Dewi Sri akan pergi lagi dengan naik garuda. Ada cerita lain soal pasren, loro blonyo, dan ritual perkawinan, yang semuanya berpangkal pada legenda Dewi Sri. Namun, ini akan jadi tulisan tersendiri lagi, kelak. Saat ini, kita jaga fokus dulu soal pepadian dan pertanian. 

Pada upacara wiwitan ketika petani hendak menuai padi, mereka menguntai pula sepasang boneka dari tanaman padi. Pengantin padi ini dihiasi dengan pelangi atau saputangan lalu dibawa pulang dan dibaringkan di pasren. Di pembaringan Dewi Sri itu mereka tidur sampai saatnya mereka dipindahkan ke lumbung padi. Lumbung padi itu tak boleh diusik-usik selama tiga puluh lima hari.

 

Lacak genom dan jejak arkeologi

Lain legenda, lain pula pelacakan sains. Padi bukanlah tanaman asli Nusantara, bila merunut pelacakan sains, khususnya dari pengenalan genom alias informasi genetik yang ada di setiap makhluk hidup.  Ahmad Arif lewat tulisan Evolusi Padi hingga ke Nusantara, yang tayang di harian Kompas edisi 28 Mei 2020, bertutur tentang lacak jejak genom padi hingga ke masa 9.000 tahun silam. Dari situ, diketahui bahwa padi masuk ke Nusantara diperkirakan pada 4.200 tahun silam. Sebelum peristiwa pendinginan global pada 4.000 tahun lalu, padi diyakini hanya ada di daratan China. Peristiwa pendinginan global ini dikenal di kalangan saintis sebagai epos 4.2k. Epos 4.2k diduga menjadi penyebab orang-orang dari daratan China bermigrasi ke luar kawasan tersebut. Bersama mereka, dibawa serta padi. Perbedaan dan perubahan iklim memunculkan diversifikasi padi, didukung data tinggalan beras yang digali dari sejumlah situs arkeologi di Asia. “Setelah peristiwa 4.2k, beras tropis bermigrasi ke selatan, sementara beras juga beradaptasi dengan garis lintang utara sebagai varietas beriklim sedang,” kata Michael D Purugganan, tim peneliti dari New York University (NYU) Center for Genomics and Systems Biology, dalam riset yang dipublikasikan di Jurnal Nature Plant pada 15 Mei 2020, sebagaimana dikutip di tulisan Arif.  Jejak padi dalam peradaban Nusantara antara lain dapat ditemukan pula di relief candi-candi di Jawa Tengah dan Jawa TImur.  Sawah muncul di temuan relief di Trowulan, Jawa Timur, diperkirakan berasal dari abad ke-14. Relief sawah lengkap dengan hama tikus beserta sosok manusia dan anjing pemburu di tepiannya, ada juga di Candi Borobudur, di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Sekam padi ditemukan pula di situs bata Candi Batujaya di Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Jejak sekam padi dari masa 800 SM ditemukan pula di Bali utara.

“Jejak padi di Nusantara lebih tua dari ini, tapi bukti-bukti arkeologisnya terbatas,” kata Sony Wibisono, arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, sebagaimana dikutip di tulisan Arif. Diversifikasi padi di Nusantara babak berikutnya diperkirakan terjadi pada 2.000 tahun lalu. Ini setelah kedatangan orang India dengan benih padi versi mereka beserta teknik pertanian sawah. Nusantara sejak zaman dulu kala memang bak melting pot, alias titik temu segala rupa budaya, karena letaknya di persilangan jalur-jalur utama pelayaran, transportasi utama pada masa lalu. Pada akhirnya, padi yang sama sekali bukan tanaman asli Nusantara pun menjadi bagian yang lekat dengan peradaban Nusantara hingga saat ini. Indonesia bahkan punya benih unggul padi, hasil persilangan benih-benih unggul padi lain.  “Sekalipun tanaman padi memang bukan asli Indonesia, adaptasinya sudah panjang dan kekayaan hayati kita luar biasa. Ini juga menyebabkan kita memiliki sumbangan penting bagi benih unggul padi di dunia,” kata Kepala Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian (BB-Biogen) Kementerian Pertanian Mastur, dikutip dalam tulisan Arif. Setidaknya, ketika sesuatu telah menjadi legenda rakyat, keberadaannya harus diakui telah menjadi sebuah kesatuan diri bak udara dalam proses bernapas sehari-hari. Bukan berarti pula kita lalu lupa bahwa jauh sebelum kedatangan padi ada pula aneka sumber pangan asli Nusantara, dengan jejak lebih tua, yang patut pula kita gali dan muliakan kembali.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *